Selasa, 01 Desember 2015

Residu bahan kimia beracun

Mengunjungi toko-toko di pusat kota merupakan salah satu aktivitas favorit warga Jerman di waktu luang mereka. Para produsen besar mode menyikapi hal ini dengan secara teratur mengeluarkan koleksi terbaru mereka. Misalnya saja, Zara, yang tergabung dalam grup perusahaan tekstil Spanyol Inditex, setiap tahunnya mengeluarkan sekitar 850 juta potong pakaian. "Fast Fashion" mengacu pada Fast Food, pakaian murah yang ditawarkan pada kalangan konsumen remaja, yang selalu ingin tampil up to date.
 http://robust-chemical.com/lemari-asam-fume-hood-based-on-wooden-structure/

Hari Jumat (23/11/12), para aktivis dari organisasi lingkungan Greenpeace melakukan demonstrasi di depan salah satu toko cabang Zara di kota Hamburg. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan: "Apakah Anda mengetahui rahasia kotor Zara?" Para aktivis lingkungan lainnya melakukan aksi serupa di beberapa kota di Jerman untuk menunjukkan hasil penelitian terbaru mereka. Kandungan bahan kimia berbahaya diuji pada 141 pakaian merek fashion terkenal seperti Zara, Benetton, Tommy Hilfiger, Gap, C & A dan H & M.

Bahan Kimia Beracun pada Pakaian

Christiane Huxdorff, pakar kimia dari Greenpeace mengatakan kepada Deutsche Welle, bahan kimia apa saja yang ditemukan pada pakaian yang diuji. "Kami menemukan residu deterjen, yang disebut NPEs, yang memiliki efek hormonal pada manusia, residu plasticizer, yang diduga menimbulkan kemandulan dan bahkan bahan kimia dari senyawa pewarna sintetis Azo, yang dapat menyebabkan kanker."

Senyawa pewarna sintetis Azo merupakan bahan pewarna yang sangat kuat. Beberapa senyawa Azo dapat melepaskan zat-zat beracun atau bahkan menyebabkan kanker. Di Jerman, bahan pewarna seperti ini dilarang untuk dipergunakan. Namun akibat lemahnya pengawasan, jenis pewarna ini masih dimanfaatkan di banyak negara di luar Eropa. Dan celah ini juga dimanfaatkan para produsen besar pakaian Fast Fashion dengan memindahkan lokasi produksi mereka ke Asia, demikian menururt Christiane Huxdorff.

"Para produsen beralih ke Asia, bukan saja karena biaya produksi di sana lebih murah, tapi juga karena di Eropa persyaratan lingkungan yang dikenakan pada perusahaan lebih ketat."

Namun demikian, diakui Christiane Huxdorff, sejauh ini belum terdapat bukti adanya dampak langsung yang merugikan pada manusia jika mengenakan pakaian yang terkontaminasi. Dikatakan Huxdorff, bahayanya tidak langsung, "Juga di Jerman serta di Eropa, jumlah residu beracun dalam air limbah dan sungai terus bertambah akibat pencucian pakaian seperti ini."

Resiko Terbesar Dihadapi Pekerja Tekstil


Yang pasti, para pekerja tekstil di Asia lah yang memiliki resiko yang paling besar karena mereka setiap harinya berurusan langsung dengan bahan kimia beracun. Selain itu, banyak pabrik tekstil di India dan Cina yang membuang limbah langsung ke sungai tanpa disaring, "Dampak pada kesehatan dihadapi penduduk yang tinggal di sekitar pabrik, yang mungkin mengkonsumsi ikan dari sungai."

Tekanan terhadap para produsen pakaian dijuga dilancarkan melalui jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. "Para konsumen mengatakan: saya ingin membeli pakaian kalian namun tanpa bahan kimia beracun."

Sementara itu, perusahaan tekstil Spanyol Inditex memberikan jaminan kepada Deutsche Welle bahwa mereka memiliki kontrol kualitas sendiri dan laboratorium yang ditunjuk telah menjamin bahwa pakaian yang diproduksi "memiliki standar kesehatan yang memadai, memperhatikan keselamatan konsumen dan menghormati lingkungan". Namun demikian, Inditex menyutujui untuk berunding mengenai kewajibannya dengan Greenpeace.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar