Senin, 28 Desember 2015

Bahan Baku Kimia Farma Masih Impor

lemari asam - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berkomitmen akan memberikan fasilitas kepada BUMN farmasi yakni PT Kimia Farma (Persero) dalam penyediaan bahan baku obat-obatan dengan menggunakan garam farmasi yang berasal dari produksi PT Garam (Persero).

Direktur Utama Kimia Farma Rusdi Rosman mengatakan, kerjasama antar BUMN ini merupakan suatu kemandirian negara dalam memenuhi kebutuhan bahan baku obat yang selama ini diimpor.

Pasalnya, selama ini bahan baku obat hampir 95 persen impor dari Thailand, India, China, Australia, Selandia dan Jerman. Untuk itu, mulai tahun depan PT Kimia Farma tidak melakukan impor kembali karena akan bekerja sama dengan Garam.

"Kami sangat bersyukur, karena ini tonggak kemandirian bahan baku obat, dari garam, bukan hanya tanda tangan saja, tapi lebih jauh, garam farmasi ini sudah ditinjau fasilitasnya oleh BPOM," kata Rusdi di Kementerian BUMN, Jakarta, Selasa (22/4/2014).

Sementara itu, Direktur Utama PT Garam (Persero) Yulian Lintang menyebutkan, kerjasama antar BUMN ini merupakan babak pertama untuk meniadakan kegiatan impor garam dari manapun. "Dengan kerjasama ini kita siap 100 persen mensupport bahan baku yang dibutuhkan," jelas Yulian.

Pada kesempatan yang sama pula, Menteri BUMN Dahlan Iskan mengungkapkan, kerjasama antar BUMN ini merupakan tindak lanjut dari hasil temuan atau inovasi BPPT. Sebab, dari sekitar 12 temuan BPPT, seluruhnya tidak ada yang berani merealisasikannya. "Kita putuskan, BUMN yang melaksanakan, dan ini yang pertama dilaksanakan," tutup Dahlan.

Jumat, 18 Desember 2015

Penggunaan Senjata Kimia

robust-chemical.com - Pada 22 April 1915, tentara Jerman menembakan gas klorin kepada serdadu Prancis di Ypres, Belgia. Tindakan keji pada Perang Dunia I ini tercatat sebagai peristiwa pertama kalinya senjata kimia digunakan.

Nama klorin berasal dari bahasa Latin, chloros, yang berarti hijau, sesuai warna gas tersebut. Tahun 1774 ilmuwan Jerman Carl Wilhelm Scheele merupakan ahli yang pertama kali menemukan klorin.

Dalam dosis tertentu, Klorin dapat cepat menyebabkan iritasi pada kulit, mata dan paru-paru. Keampuhan Klorin terbukti menewaskan lima ribu tentara Prancis pada perang itu. Belakangan, tentara Irak di era Saddam Husein kerap menggunakan senjata kimia itu melawan musuh-musuhnya.

Berikut sejarah Iptek lainya yang terjadi pada 22 April:

1056: Supernova dari nebula Crab terakhir kali terlihat dengan mata telanjang.

1666: Shah Jahan, keturunan Jengis Khan dan Timurlange, wafat pada usia 74 tahun. Ia adalah Kaisar Mongol di India yang membangun Taj Mahal, sebuah makam yang indah untuk istrinya Mumtaz-i-Mahal.

1742: Immanuel Kant lahir di Königsberg. Filsuf Jerman yang mempublikasikan General History of Nature and Theory of the Heavens (1755) meninggal 12 Februari 1804. Ia juga terkenal dengan menggambarkan galaksi kita (Bima Sakti) sebagai sebuah kumpulan bintang berbentuk lensa.

1936 : Alan J. Heeger lahir di Sioux City, Iowa. Penelitiannya mengenai polimer-polimer yang bersifat konduktor memenangkan Hadiah Nobel bidang Kimia 2000.

1969: Pencangkokan mata untuk pertama kalinya dilakukan pada manusia.

Selasa, 01 Desember 2015

Residu bahan kimia beracun

Mengunjungi toko-toko di pusat kota merupakan salah satu aktivitas favorit warga Jerman di waktu luang mereka. Para produsen besar mode menyikapi hal ini dengan secara teratur mengeluarkan koleksi terbaru mereka. Misalnya saja, Zara, yang tergabung dalam grup perusahaan tekstil Spanyol Inditex, setiap tahunnya mengeluarkan sekitar 850 juta potong pakaian. "Fast Fashion" mengacu pada Fast Food, pakaian murah yang ditawarkan pada kalangan konsumen remaja, yang selalu ingin tampil up to date.
 http://robust-chemical.com/lemari-asam-fume-hood-based-on-wooden-structure/

Hari Jumat (23/11/12), para aktivis dari organisasi lingkungan Greenpeace melakukan demonstrasi di depan salah satu toko cabang Zara di kota Hamburg. Mereka membentangkan spanduk bertuliskan: "Apakah Anda mengetahui rahasia kotor Zara?" Para aktivis lingkungan lainnya melakukan aksi serupa di beberapa kota di Jerman untuk menunjukkan hasil penelitian terbaru mereka. Kandungan bahan kimia berbahaya diuji pada 141 pakaian merek fashion terkenal seperti Zara, Benetton, Tommy Hilfiger, Gap, C & A dan H & M.

Bahan Kimia Beracun pada Pakaian

Christiane Huxdorff, pakar kimia dari Greenpeace mengatakan kepada Deutsche Welle, bahan kimia apa saja yang ditemukan pada pakaian yang diuji. "Kami menemukan residu deterjen, yang disebut NPEs, yang memiliki efek hormonal pada manusia, residu plasticizer, yang diduga menimbulkan kemandulan dan bahkan bahan kimia dari senyawa pewarna sintetis Azo, yang dapat menyebabkan kanker."

Senyawa pewarna sintetis Azo merupakan bahan pewarna yang sangat kuat. Beberapa senyawa Azo dapat melepaskan zat-zat beracun atau bahkan menyebabkan kanker. Di Jerman, bahan pewarna seperti ini dilarang untuk dipergunakan. Namun akibat lemahnya pengawasan, jenis pewarna ini masih dimanfaatkan di banyak negara di luar Eropa. Dan celah ini juga dimanfaatkan para produsen besar pakaian Fast Fashion dengan memindahkan lokasi produksi mereka ke Asia, demikian menururt Christiane Huxdorff.

"Para produsen beralih ke Asia, bukan saja karena biaya produksi di sana lebih murah, tapi juga karena di Eropa persyaratan lingkungan yang dikenakan pada perusahaan lebih ketat."

Namun demikian, diakui Christiane Huxdorff, sejauh ini belum terdapat bukti adanya dampak langsung yang merugikan pada manusia jika mengenakan pakaian yang terkontaminasi. Dikatakan Huxdorff, bahayanya tidak langsung, "Juga di Jerman serta di Eropa, jumlah residu beracun dalam air limbah dan sungai terus bertambah akibat pencucian pakaian seperti ini."

Resiko Terbesar Dihadapi Pekerja Tekstil


Yang pasti, para pekerja tekstil di Asia lah yang memiliki resiko yang paling besar karena mereka setiap harinya berurusan langsung dengan bahan kimia beracun. Selain itu, banyak pabrik tekstil di India dan Cina yang membuang limbah langsung ke sungai tanpa disaring, "Dampak pada kesehatan dihadapi penduduk yang tinggal di sekitar pabrik, yang mungkin mengkonsumsi ikan dari sungai."

Tekanan terhadap para produsen pakaian dijuga dilancarkan melalui jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. "Para konsumen mengatakan: saya ingin membeli pakaian kalian namun tanpa bahan kimia beracun."

Sementara itu, perusahaan tekstil Spanyol Inditex memberikan jaminan kepada Deutsche Welle bahwa mereka memiliki kontrol kualitas sendiri dan laboratorium yang ditunjuk telah menjamin bahwa pakaian yang diproduksi "memiliki standar kesehatan yang memadai, memperhatikan keselamatan konsumen dan menghormati lingkungan". Namun demikian, Inditex menyutujui untuk berunding mengenai kewajibannya dengan Greenpeace.